Pages

Saturday, May 29, 2010

Ordinary man (true story)

Bayi yang dikandung Nania tidak
juga mau keluar. Sudah lewat dua
minggu dari waktunya.
Plasenta kamu sudah berbintik-
bintik. Sudah tua, Nania. Harus
segera dikeluarkan!
Mula-mula dokter kandungan
langganan Nania memasukkan
sejenis obat ke dalam rahim Nania.
Obat itu akan menimbulkan
kontraksi hebat hingga perempuan
itu merasakan sakit yang teramat
sangat. Jika semuanya normal,
hanya dalam hitungan jam, mereka
akan segera melihat si kecil.
Rafli tidak beranjak dari sisi tempat
tidur Nania di rumah sakit. Hanya
waktu-waktu shalat lelaki itu
meninggalkannya sebentar ke
kamar mandi, dan menunaikan
shalat di sisi tempat tidur.
Sementara kakak-kakak serta
orangtua Nania belum satu pun
yang datang.
Anehnya, meski obat kedua sudah
dimasukkan, delapan jam setelah
obat pertama, Nania tak
menunjukkan tanda-tanda akan
melahirkan. Rasa sakit dan melilit
sudah dirasakan Nania per lima
menit, lalu tiga menit. Tapi
pembukaan berjalan lambat sekali.
Baru pembukaan satu. Belum ada
perubahan, Bu. Sudah bertambah
sedikit, kata seorang suster empat
jam kemudian menyemaikan
harapan.
Sekarang pembukaan satu lebih
sedikit. Nania dan Rafli
berpandangan. Mereka sepakat
suster terakhir yang memeriksa
memiliki sense of humor yang
tinggi.
Tigapuluh jam berlalu. Nania baru
pembukaan dua. Ketika pembukaan
pecah, didahului keluarnya darah,
mereka terlonjak bahagia sebab
dulu-dulu kelahiran akan mengikuti
setelah ketuban pecah. Perkiraan
mereka meleset.
Masih pembukaan dua, Pak! Rafli
tercengang. Cemas. Nania tak bisa
menghibur karena rasa sakit yang
sudah tak sanggup lagi
ditanggungnya. Kondisi perempuan
itu makin payah. Sejak pagi tak
sesuap nasi pun bisa ditelannya.
Bang? Rafli termangu. Iba hatinya
melihat sang istri memperjuangkan
dua kehidupan.
Dokter?
Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin
terlilit tali pusar.
Mungkin? Rafli dan Nania
berpandangan. Kenapa tidak dari
tadi kalau begitu? Bagaimana jika
terlambat?
Mereka berpandangan, Nania
berusaha mengusir kekhawatiran. Ia
senang karena Rafli tidak
melepaskan genggaman tangannya
hingga ke pintu kamar operasi. Ia
tak suka merasa sendiri lebih awal.
Pembiusan dilakukan, Nania digiring
ke ruangan serba putih. Sebuah
sekat ditaruh di perutnya hingga dia
tidak bisa menyaksikan ketrampilan
dokter-dokter itu. Sebuah lagu
dimainkan. Nania merasa berada
dalam perahu yang diguncang
ombak. Berayun-ayun.
Kesadarannya naik-turun. Terakhir,
telinga perempuan itu sempat
menangkap teriakan-teriakan di
sekitarnya, dan langkah-langkah
cepat yang bergerak, sebelum
kemudian dia tak sadarkan diri.
Kepanikan ada di udara. Bahkan dari
luar Rafli bisa menciumnya. Bibir
lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.
Seorang dokter keluar, Rafli dan
keluarga Nania mendekat.
Pendarahan hebat!
Rafli membayangkan sebuah
sumber air yang meluap, berwarna
merah. Ada varises di mulut rahim
yang tidak terdeteksi dan entah
bagaimana pecah! Bayi mereka
selamat, tapi Nania dalam kondisi
kritis.
Mama Nania yang baru tiba,
menangis. Papa termangu lama
sekali. Saudara-saudara Nania
menyimpan isak, sambil
menenangkan orangtua mereka.
Rafli seperti berada dalam atmosfer
yang berbeda. Lelaki itu tercenung
beberapa saat, ada rasa cemas yang
mengalir di pembuluh-pembuluh
darahnya dan tak bisa dihentikan,
menyebar dan meluas cepat seperti
kanker.
Setelah itu adalah hari-hari penuh
doa bagi Nania.
***
Sudah seminggu lebih Nania koma.
Selama itu Rafli bolak-balik dari
kediamannya ke rumah sakit. Ia
harus membagi perhatian bagi
Nania dan juga anak-anak. Terutama
anggota keluarganya yang baru, si
kecil. Bayi itu sungguh
menakjubkan, fisiknya sangat kuat,
juga daya hisapnya. Tidak sampai
empat hari, mereka sudah oleh
membawanya pulang.
Mama, Papa, dan ketiga saudara
Nania terkadang ikut menunggui
Nania di rumah sakit, sesekali
mereka ke rumah dan melihat
perkembangan si kecil. Walau tak
banyak, mulai terjadi percakapan
antara pihak keluarga Nania dengan
Rafli.
Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia
nyaris tak pernah meninggalkan
rumah sakit, kecuali untuk melihat
anak-anak di rumah. Syukurnya
pihak perusahaan tempat Rafli
bekerja mengerti dan memberikan
izin penuh. Toh, dedikasi Rafli
terhadap kantor tidak perlu
diragukan.
Begitulah Rafli menjaga Nania siang
dan malam. Dibawanya sebuah
Quran kecil, dibacakannya dekat
telinga Nania yang terbaring di
ruang ICU. Kadang perawat dan
pengunjung lain yang kebetulan
menjenguk sanak famili mereka,
melihat lelaki dengan penampilan
sederhana itu bercakap-cakap dan
bercanda mesra..
Rafli percaya meskipun tidak
mendengar, Nania bisa merasakan
kehadirannya.
Nania, bangun, Cinta? Kata-kata itu
dibisikkannya berulang-ulang sambil
mencium tangan, pipi dan kening
istrinya yang cantik.
Ketika sepuluh hari berlalu, dan
pihak keluarga mulai pesimis dan
berfikir untuk pasrah, Rafli masih
berjuang. Datang setiap hari ke
rumah sakit, mengaji dekat Nania
sambil menggenggam tangan
istrinya mesra. Kadang lelaki itu
membawakan buku-buku kesukaan
Nania ke rumah sakit dan
membacanya dengan suara pelan.
Memberikan tambahan di bagian ini
dan itu. Sambil tak bosan-bosannya
berbisik,
Nania, bangun, Cinta? Malam-malam
penantian dilewatkan Rafli dalam
sujud dan permohonan. Asalkan
Nania sadar, yang lain tak jadi soal.
Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya
di mata kekasihnya, senyum di bibir
Nania, semua yang menjadi sumber
semangat bagi orang-orang di
sekitarnya, bagi Rafli.
Rumah mereka tak sama tanpa
kehadiran Nania. Anak-anak
merindukan ibunya. Di luar itu Rafli
tak memedulikan yang lain, tidak
wajahnya yang lama tak bercukur,
atau badannya yang semakin kurus
akibat sering lupa makan.
Ia ingin melihat Nania lagi dan
semua antusias perempuan itu di
mata, gerak bibir, kernyitan kening,
serta gerakan-gerakan kecil lain di
wajahnya yang cantik. Nania sudah
tidur terlalu lama.
Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli
terjawab. Nania sadar dan wajah
penat Rafli adalah yang pertama
ditangkap matanya.
Seakan telah begitu lama. Rafli
menangis, menggenggam tangan
Nania dan mendekapkannya ke
dadanya, mengucapkan syukur
berulang-ulang dengan airmata
yang meleleh.
Asalkan Nania sadar, semua tak
penting lagi.
Rafli membuktikan kata-kata yang
diucapkannya beratus kali dalam
doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah
merawat Nania selama sebelas
tahun terakhir. Memandikan dan
menyuapi Nania, lalu mengantar
anak-anak ke sekolah satu per satu.
Setiap sore setelah pulang kantor,
lelaki itu cepat-cepat menuju rumah
dan menggendong Nania ke teras,
melihat senja datang sambil
memangku Nania seperti remaja
belasan tahun yang sedang jatuh
cinta.
Ketika malam Rafli mendandani
Nania agar cantik sebelum tidur.
Membersihkan wajah pucat
perempuan cantik itu,
memakaikannya gaun tidur. Ia ingin
Nania selalu merasa cantik. Meski
seringkali Nania mengatakan itu tak
perlu. Bagaimana bisa merasa cantik
dalam keadaan lumpuh?
Tapi Rafli dengan upayanya yang
terus-menerus dan tak kenal lelah
selalu meyakinkan Nania,
membuatnya pelan-pelan percaya
bahwa dialah perempuan paling
cantik dan sempurna di dunia.
Setidaknya di mata Rafli.
Setiap hari Minggu Rafli mengajak
mereka sekeluarga jalan-jalan keluar.
Selama itu pula dia selalu
menyertakan Nania. Belanja, makan
di restoran, nonton bioskop,
rekreasi ke manapun Nania harus
ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli,
melakukan hal yang sama, selalu
melibatkan Nania. Begitu bertahun-
tahun.
Awalnya tentu Nania sempat
merasa risih dengan pandangan
orang-orang di sekitarnya. Mereka
semua yang menatapnya iba, lebih-
lebih pada Rafli yang berkeringat
mendorong kursi roda Nania ke
sana kemari. Masih dengan senyum
hangat di antara wajahnya yang
bermanik keringat.
Lalu berangsur Nania menyadari,
mereka, orang-orang yang
ditemuinya di jalan, juga tetangga-
tetangga, sahabat, dan teman-
teman Nania tak puas hanya
memberi pandangan iba, namun
juga mengomentari, mengoceh,
semua berbisik-bisik.
Baik banget suaminya! Lelaki lain
mungkin sudah cari perempuan
kedua!
Nania beruntung! Ya, memiliki
seseorang yang menerima dia apa
adanya.
Tidak, tidak cuma menerima apa
adanya, kalian lihat bagaimana
suaminya memandang penuh cinta.
Sedikit pun tak pernah bermuka
masam!
Bisik-bisik serupa juga lahir dari
kakaknya yang tiga orang, Papa dan
Mama.
Bisik-bisik yang serupa dengungan
dan sempat membuat Nania makin
frustrasi, merasa tak berani,
merasa?
Tapi dia salah. Sangat salah. Nania
menyadari itu kemudian. Orang-
orang di luar mereka memang tetap
berbisik-bisik, barangkali selamanya
akan selalu begitu. Hanya saja,
bukankah bisik-bisik itu kini berbeda
bunyi?
Dari teras Nania menyaksikan anak-
anaknya bermain basket dengan
ayah mereka.. Sesekali perempuan
itu ikut tergelak melihat kocak
permainan.
Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan.
Nania menghitung-hitung semua,
anak-anak yang beranjak dewasa,
rumah besar yang mereka tempati,
kehidupan yang lebih dari yang bisa
dia syukuri. Meski tubuhnya tak
berfungsi sempurna. Meski
kecantikannya tak lagi sama karena
usia, meski karir telah direbut takdir
dari tangannya.
Waktu telah membuktikan
segalanya. Cinta luar biasa dari laki-
laki biasa yang tak pernah berubah,
untuk Nania.

No comments:

Post a Comment