Pages

Friday, July 13, 2012

Hakekat Cinta

Kata pujangga cinta letaknya di hati. Meskipun tersembunyi, namun getarannya tampak sekali. Ia mampu mempengaruhi pikiran sekaligus mengendalikan tindakan. Sungguh, Cinta dapat mengubah pahit menjadi manis, debu beralih emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, penjara menjadi telaga, derita menjadi nikmat, dan kemarahan menjadi rahmat. Cintalah yang mampu melunakkan besi, menghancurkan batu karang, membangkitkan yang mati dan meniupkan kehidupan padanya serta membuat budak menjadi pemimpin. Inilah dasyatnya cinta (Jalaluddin Rumi). Namun hati-hati juga dengan cinta, karena cinta juga dapat membuat orang sehat menjadi sakit, orang gemuk menjadi kurus, orang normal menjadi gila, orang kaya menjadi miskin, raja menjadi budak, jika cintanya itu disambut oleh para pecinta palsu. Cinta yang tidak dilandasi kepada Allah. Itulah para pecinta dunia, harta dan wanita. Dia lupa akan cinta Allah, cinta yang begitu agung, cinta yang murni. Cinta Allah cinta yang tak bertepi. Jikalau sudah mendapatkan cinta-Nya, dan manisnya bercinta dengan Allah, tak ada lagi keluhan, tak ada lagi tubuh lesu, tak ada tatapan kuyu. Yang ada adalah tatapan optimis menghadapi segala cobaan, dan rintangan dalam hidup ini. Tubuh yang kuat dalam beribadah dan melangkah menggapai cita-cita tertinggi yakni syahid di jalan-Nya. Tak jarang orang mengaku mencintai Allah, dan sering orang mengatakan mencitai Rasulullah, tapi bagaimana mungkin semua itu diterima Allah tanpa ada bukti yang diberikan, sebagaimana seorang arjuna yang mengembara, menyebarangi lautan yang luas, dan mendaki puncak gunung yang tinggi demi mendapatkan cinta seorang wanita. Bagaimana mungkin menggapai cinta Allah, tapi dalam pikirannya selalu dibayang-bayangi oleh wanita/pria yang dicintai. Tak mungkin dalam satu hati dipenuhi oleh dua cinta. Salah satunya pasti menolak, kecuali cinta yang dilandasi oleh cinta pada-Nya. Di saat Allah menguji cintanya, dengan memisahkanya dari apa yang membuat dia lalai dalam mengingat Allah, sering orang tak bisa menerimanya. Di saat Allah memisahkan seorang gadis dari calon suaminya, tak jarang gadis itu langsung lemah dan terbaring sakit. Di saat seorang suami yang istrinya dipanggil menghadap Ilahi, sang suami pun tak punya gairah dalam hidup. Di saat harta yang dimiliki hangus terbakar, banyak orang yang hijrah kerumah sakit jiwa, semua ini adalah bentuk ujian dari Allah, karena Allah ingin melihat seberapa dalam cinta hamba-Nya pada-Nya. Allah menginginkan bukti, namun sering orang pun tak berdaya membuktikannya, justru sering berguguran cintanya pada Allah, disaat Allah menarik secuil nikmat yang dicurahkan-Nya. Itu semua adalah bentuk cinta palsu, dan cinta semu dari seorang makhluk terhadap Khaliknya. Padahal semuanya sudah diatur oleh Allah, rezki, maut, jodoh, dan langkah kita, itu semuanya sudah ada suratannya dari Allah, tinggal bagi kita mengupayakan untuk menjemputnya. Amat merugi manusia yang hanya dilelahkan oleh cinta dunia, mengejar cinta makhluk, memburu harta dengan segala cara, dan enggan menolong orang yang papah. Padahal nasib di akhirat nanti adalah ditentukan oleh dirinya ketika hidup didunia, Bersungguh-sungguh mencintai Allah, ataukah terlena oleh dunia yang fana ini. Jika cinta kepada selain Allah, melebihi cinta pada Allah, merupakan salah satu penyebab do’a tak terijabah. Bagaimana mungkin Allah mengabulkan permintaan seorang hamba yang merintih menengadah kepada Allah di malam hari, namun ketika siang muncul, dia pun melakukan maksiat. Bagaimana mungkin do’a seorang gadis ingin mendapatkan seorang laki-laki sholeh terkabulkan, sedang dirinya sendiri belum sholehah. Bagaimana mungkin do’a seorang hamba yang mendambakan rumah tangga sakinah, sedang dirinya masih diliputi oleh keegoisan sebagai pemimpin rumah tangga.. Bagaimana mungkin seorang ibu mendambakan anak-anak yang sholeh, sementara dirinya disibukkan bekerja di luar rumah sehingga pendidikan anak terabaikan, dan kasih sayang tak dicurahkan. Bagaimana mungkin keinginan akan bangsa yang bermartabat dapat terwujud, sedangkan diri pribadi belum bisa menjadi contoh teladan Banyak orang mengaku cinta pada Allah dan Allah hendak menguji cintanya itu. Namun sering orang gagal membuktikan cintanya pada sang Khaliq, karena disebabkan secuil musibah yang ditimpakan padanya. Yakinlah wahai saudaraku kesenangan dan kesusahan adalah bentuk kasih sayang dan cinta Allah kepada hambanya yang beriman… Dengan kesusahan, Allah hendak memberikan tarbiyah terhadap ruhiyah kita, agar kita sadar bahwa kita sebagai makhluk adalah bersifat lemah, kita tidak bisa berbuat apa-apa kecuali atas izin-Nya. Saat ini tinggal bagi kita membuktikan, dan berjuang keras untuk memperlihatkan cinta kita pada Allah, agar kita terhindar dari cinta palsu. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan hambanya yang betul-betul berkorban untuk Allah Untuk membuktikan cinta kita pada Allah, ada beberapa hal yang perlu kita persiapkan yaitu: 1) Iman yang kuat 2) Ikhlas dalam beramal 3) Mempersiapkan kebaikan Internal dan eksternal. kebaikan internal yaitu berupaya keras untuk melaksanakan ibadah wajib dan sunah. Seperti qiyamulail, shaum sunnah, bacaan Al-qur’an dan haus akan ilmu. Sedangkan kebaikan eksternal adalah buah dari ibadah yang kita lakukan pada Allah, dengan keistiqamahan mengaplikasikannya dalam setiap langkah, dan tarikan nafas disepanjang hidup ini. Dengan demikian InsyaAllah kita akan menggapai cinta dan keridhaan-Nya.

Saturday, March 17, 2012

Duniaku Bukanlah Duniamu

“Apa memang benar, dia wanita yang tidak mempunyai hati”

“ku tatap matanya, jujur, aku gugup ketika melihat matanya yang begitu dingin.”

“ah menurutku dia normal, mungkin itu karakternya yang diam dan tak banyak bercerita”

Bisik Rinto dalam hati.

Cuaca Jakarta senja, memang terkadang cantik, walau di campuri kontaminasi kendaraan dan asap asap pabrik yang hitam.

Setiap orang kagum pada bunga cantik berwarna warni, tapi hanya ada satu wanita yang menolak diberi bunga, yakni Shinta. Bunga itu sendiri

Shinta mengalami sindrom asperger, kondisi kejiwaan dengan ciri pengidapnya mencintai kesendirian, mempunya dunia yang berbeda dan senang membuat cerita-cerita sendiri dikamar

...

“ah lagi-lagi aku berjumpa lelaki itu”

“lelaki yang sering cengar cengir tidak jelas”

“aneh!”

“bahkan dia begitu gembira melihat hujan, seperti seorang ibu yang bahagia melihat anaknya baru lahir, baru kali ini aku melihat lelaki seperti itu, tak sehat”

“mungkin ibunya terlalu banyak mengkonsumsi vitamin pada saat di kandungan”

“sehingga anaknya seperti itu”

“menyebalkan sekali setiap hari ia terus-terusan menggangguku”

Keluh Shinta dalam hati. Tanpa peduli lantas wanita itu mulai membuka laptopnya memulai membuat cerita

...

Pada suatu hari ada seorang fotografer yang senang memotret debu-lalulintas kota, asap kendaraan, orang-orang yang sedang berjalan, bahkan suasana teriknya kota Jakarta.

Lelaki itu terdiam di trotoar jalan, matanya terus saja mencari objek yang tepat untuk di potret.

Lelaki itu menunduk

Terpesona pada kembang kuning dipinggir jalan.

Ketika ia ingin memotret kembang itu, lensanya menemukan sosok seorang wanita yang cantik memakai baju merah, dengan rambut panjang terurai dan tersorot sinar matahari,

Segera saja lelaki itu memotret wanita , tentu saja kembang warna kuning tesebut dibuat menjadi blur.

Esoknyapun lelaki itu kembali ke trotoar kemarin, menunggui wanita cantik itu muncul lagi

“ah wanita itu muncul lagi, cantik sekali” kagum dalam hati

Setiap hari lelaki itu terus-terusan memotret wanita itu tanpa sadar dalam berbagai pose,

“aneh, dari kesekian kali aku melihat ekspresi wajahnya, jarang sekali bahkan aku tak pernah melihatnya tersenyum” bisik lelaki itu dalam hati

“siapa sebenarnya bunga itu?” tanya lelaki itu dalam hati

Lelaki itu penasaran, lantas mendekati gadis itu mencoba memasuki dunianya.

Namun Belum sempat menyentuh atmosfer dunianya, wanita itu sudah menunjukkan ekspresi tidak mau diganggu. Dengan sabar lelaki itu terus saja mendekati wanita itu. Menunggu awan kelabu mempersilahkan sejengkal kakinya masuk ke dunianya.

...

“ini bunga edelweiss, aku sengaja mendaki puncak Mahameru, untuk memetik bunga ini untukmu, tidakkah kamu ingin berkenalan denganku?” ucap lelaki itu

Wanita itu hanya diam, meliriknya dan memegang bunga edelweiss itu.

“maaf aku ingin sendiri, aku tidak memiliki waktu denganmu” ucap gadis itu sambil menyerahkan kembali bunga edelweissnya kepada lelaki itu

“simpan saja bunga itu, aku tidak bermaksud jahat padamu, jangan khawatir”ucap lelaki itu

...

Tiba-tiba saja hujan lebat, lelaki itu menyeret lengan sang gadis sambil menunjuk-nunjukan jarinya kelangit

“hey lihat ! aku tak tau, mengapa awan menjatuhkan airnya ke tanah, lihat air itu, darimana asalnya? Diatas sana” ucap lelaki itu setengah teriak

“aku tak tau mengapa aku mengagumimu, tidak ada alasan, mengapa aku jatuh cinta padaamu percis seperti air itu, mengapa air itu turun kebumi” sambungnya

Lelaki itu membiarkan gadis itu basah-basahan dan membiarkan wajahnya tertitiki butiran hujan dari langit.

Dalam kondisi basah-basahan, lelaki itu menyeret sang gadis, sambil berlari.

“hey, mau kemana?”bentak gadis itu

Namun lelaki itu hanya diam, hujan semakin deras. Gadis itu dibawa lari-larian ditengah hujan

Bersama seorang lelaki yang menggantungkan kameranya di lehernya.

“hey, lihat aku gembira ketika ada hujan, air itu anugerah dari langit.” Kemudian lelaki itu berteriak sambil berputar putar disamping gadis itu, gadis itu mengusapkan air di wajahnya, heran bukan kepalang.

“kamu harus tau hujan ini tanda sayang Allah buat mahluknya di bumi, maaf aku membuatmu kebasahan. Waktu kecil aku bersama adik perempuanku selalu bermain hujan disaat ada hujan”ucapnya

“lalu kamu kenapa menarikku”ucap gadis itu

“aku ingin melihatmu ceria”

“coba lihat air ini air hujan, bukan air mata”

“daun-daun tertawa ditumpahi air hujan, kumohon, tersenyumlah” ucap lelaki itu sambil menatap gadis itu dalam-dalam

“komohon” ucapnya lagi

Namun gadis itu hanya terdiam

“oke, aku akan pergi meninggalkanmu jika kamu masih tak mau senyum”ucap lelaki itu

Gadis itu masih diam, wajahnya tak tampak ingin tersenyum.

Sehingga terlihat seorang bayangan laki-laki pergi meninggalkan gadis itu.

...

Pagi yang masih terlalu bening, di pinggir-pinggir trotoar dekat rumah gadis itu tertempel ribuan foto dirinya dengan berbagai pose. Foto-foto itu terlalu banyak hingga sejauh 3 kilometer masih terpampang foto gadis itu.

Yang direkatkan satu persatu, membentuk wajah gadis itu, jelas

Namun lelaki itu tak muncul..

Satu foto yang digenggam gadis itu hanyalah foto jejak kaki yang bertulis

“kenang aku, aku kan dihatimu”

Tak tau mengapa, tersembul getah bening diujung mata gadis itu

Sambil memeluk bunga edelweiss gadis itu mulai merasa dunianya itu sudah tak perawan, disentuh seorang laki-laki

...

Entah mengapa setelah selasai mengetik sebuah cerita, air mata Shinta mengalir, seakan terngiang-ngiang lagi suara

“ini hujan bukan air mata, kumohon tersenyumlah”

Friday, December 23, 2011

Dibalik Cinta Dalam Diam

Dibalik cinta dalam diam

aku belajar mencintai dengan tulus, ikhlas, dan karena-Nya

dibalik cinta dalam diam

aku belajar sabar dan berserah diri pada-Nya

dibalik cinta dalam diam

aku belajar menghormati hijabmu dan menjaga pesona permata hatimu

dibalik cinta dalam diam

tersimpan cinta yang begitu istimewa dan selalu berharap atas ridha-Nya

Saturday, December 3, 2011

Siang Disebuah Jalan

Siang di sebuah jalan, di bawah papan iklan raksasa yang melintang, seorang wanita menggandeng tangan anak gadisnya. Sudah lima belas menit mereka ada di sana, di atas pembatas yang membagi jalan itu menjadi dua belantara liar dengan ratusan kendaraan yang menyerupai hewan kelaparan berlarian memburu mangsa. Belantara di belakang mereka, sudah berhasil di lalui lima belas menit yang lalu, setelah hamper setengah jam menunggu. Itupun masih menyisakan debaran jantung karena sebuah motor yang melintas dengan cepat hampir saja menabrak mereka tadi, masih pula disertai makian dari si pengemudi.



“Ima takut, Bu.”



Ima, anak gadis, itu merapat ke tubuh ibunya. Di tangan kirinya digenggam sebuah tas plastik berisi baju yang baru saja dibelikan oleh ibunya di pasar tadi. Bukan baju yang mahal, tapi dia senang sekali, dia memilihnya sendiri tadi. Hari ini genap dua belas tahun usianya, dan baju itu adalah hadiah ulang tahunnya. Wanita itu merasakan ketakutan anaknya melihat belantara di depan matanya, dia tidak ingin menambahnya dengan memperlihatkan ketakutannya. Sebagai seorang ibu dia sungguh ingin merasa anak gadisnya itu merasa terlindung di dekatnya.



“Jangan takut, nduk. Sebentar lagi juga kita bisa menyeberangi jalan ini. Lalu nanti sampai di rumah kau bisa coba bajumu itu. Pasti kau cantik sekali dengan baju baru itu.”



Anak gadis itu bisa sedikit tersenyum, tapi ketakutan masih terlukis di wajahnya. Dia bertanya-tanya, tak bisakah sehari saja, di hari ini, hari ulang tahunnya, semua kendaraan itu mau berhenti dan memberi jalan bagi dia dan ibunya. Dia merasa seharusnya dia layak mendapatkannya, seperti mendapatkan baju baru dari ibunya.



Tapi tentu saja mobil-mobil itu bukan ibunya, juga motor-motor itu. Mereka tak merasa perlu memberi jalan pada anak gadis itu, lagipula mereka juga tak tahu kalau anak gadis itu berulang tahun bukan? Tak perlu, tak tahu dan tak mau tahu. Mereka juga punya kepentingan masing-masing yang mungkin tak kalah penting hingga harus memacu kendaraannya secepat itu, se-tak perduli itu.



Bukankah mereka adalah sekawanan hewan kelaparan yang berlari untuk memburu mangsa, tak ingin jika mangsa itu lepas karena lari mereka terlalu lambat? Wanita bersama anak gadisnya itu tentu saja juga tak bisa melihat atau mendengar alasan-alasan di benak mereka.



“Mungkin kita harus mengatakannya, Bu.”



“Mengatakan apa?”



“Mengatakan ke mereka kalau kita sudah menunggu lama untuk menyeberang. Kalau kita tidak mengatakannya mereka kan tidak akan tahu. Katakan juga kalau aku sedang berulang tahun, mungkin itu akan membuat mereka mau memberi jalan.”



Sang ibu tersenyum, “Mereka kan bisa melihat kita, tanpa harus diberi tahu seharusnya mereka sudah tahu kalau kita akan menyeberang. Lagipula bagaimana cara mengatakannya? Lihat, mereka kan melaju dengan sangat cepat, suara kita juga tak akan bisa mengalahkan bunyi mesin-mesin itu. Tunggulah dulu sebentar, nduk. Sabar ya…



Sabar.”



Kata-kata itu seperti juga ditunjukkan bagi dirinya sendiri. Ia juga sebenarnya mulai tak sabar melihat rentetan kendaraan berkecepatan tinggi yang tanpa jeda. Traffic light terdekat berjarak hampir satu kilo-meter sehingga jeda kosong antar barisan kendaraan sudah hilang imbasnya pada lokasi tempat mereka akan menyeberang.



Setelah lima belas menit lagi berlalu, wanita itu mulai putus asa.



“Ya, mungkin kita perlu mencobanya ..”, gumamnya lirih. Sang anak tidak mendengarnya dan gumaman itu memang tidak benar-benar ditujukan untuknya. Lalu wanita itu melepas gandengannya, membungkuk sambil mengelus kepala anaknya, “Tunggu dulu di sini ya nduk. Ibu akan mencoba mengatakannya pada mereka.”



“Tapi .. bagaimana caranya, Bu?”



Mata anaknya yang kebingungan tiba-tiba saja menimbulkan dorongan yang sangat kuat bagi wanita itu untuk memeluknya. Erat memeluknya.



“Selamat ulang tahun, nduk .. Ibu sayang kamu.”

Saturday, October 22, 2011

As & An Part I

Ada ketukan di pintu sebelum suara salam yang lembut ku dengar. Ku jawab salam itu dengan lembut pula sebelum ku bukakan pintu. Aku tertegun saat aku menemukan wajah cantik tersenyum padaku. Aku mengenalnya. Tapi aku tak percaya. Aku tak percaya kalau ini nyata. Apakah orang ini adalah dia? Cantiknya sama. Senyum simpulnya sama manisnya. Tapi…, penampilannya berbeda. Anggun. Terlihat begitu dewasa.



“Hai”.



Dia menyapaku dengan nada suaranya yang tetap lembut. Suaranya membuatku semakin tak percaya. Suara ini begitu aku kenal. Sangat aku kenal. Wajah cantik dan suara lembut ini yang selama ini aku rindukan. Yang selama ini, selama beberapa tahun ini menghilang. Aku kehilangan pita suara, tapi aku tak mencarinya, karena aku tak mengerti cara mencarinya. Dia melambaikan tangannya di depan mataku sambil mengulang sapaannya.



“Ha…, hai…”.



Aku tergagap gugup membalas sapaannya. Aku seperti fan’s yang baru bertemu dengan artis idolanya. Aku benar-benar mati gaya. Aku kehilangan banyak ide untuk bicara.



“Kenapa…?”.



Sebuah pertanyaan terhidang dari bibirnya yang masih mencetak senyum yang begitu manis.



“Apakah ini mimpi?”.



Dia mencubit tanganku dengan cukup keras dan cukup membuatku tercekat karena kesakitan.



“Tuh…, kamu masih sadar kan, kenapa sih, aku terlihat aneh ya…?”.



“Oh tidak tidak, justru kamu terlihat makin cantik, malah tadi aku mengira kalau aku sedang melihat bidadari”.



“Huh…, paling bisa deh kalau menyenangkan orang”.



“Aku tidak sedang memuji kamu loh, aku cuma bicara seadanya”.



“Tidak sangka ya, lama tak bertemu, ternyata gombalmu makin dahsyat”.



“Tidak ah, kamu lupa ya kalau aku adalah orang yang paling jujur kalau menilai orang”.



“Iya deh…, makasih atas pujiannya, tapi cukup ya, kalau tidak aku benar-benar terbang nih…”.



“Tapi benar kok, dengan penampilanmu sekarang, kamu terlihat lebih cantik, terlihat seperti perempuan”.



“memangnya dulu aku bukan perempuan?”. Ucapnya tegas.



“Ya…, dulu kan kamu tomboy sekali, tapi sekarang kamu benar-benar feminim”.



“Sudah ah, muji-muji terus, sudah nih begini saja, aku tidak disuruh masuk”.



“Waduh sorry nih, aku lagi sendirian, di luar saja ya”.



Ku persilahkan ia duduk di kursi teras. Ku tawari minum, dia malah mengujiku.



“Aku mau lihat, masih ingat tidak minuman kesukaanku”.



“OK”.



“Jangan pakai lama ya”.



“Baik Non”.



Ia tertawa saat ku tinggal masuk untuk membuat minuman. Hari ini adalah hari yang bersejarah dalam hidupku. Tak akan ku biarkan hari ini hilang dari buku kenanganku. Sampai kapanpun. Akan ku tulis hari ini dalam prasasti dan akan ku simpan di tahta yang tinggi. Di sini, di hatiku. Hari ini adalah hari dimana aku tahu dan mengerti akan apa itu bahagia. Hari ini aku dapat melihat semua warna di dunia ini. Aku baru sadar, kalau dunia ini sangat indah. Setelah sekian lama aku terpuruk. Remuk. Meluruk. Semenjak gadis itu pergi dari kehidupanku. Menghapus diri dari setiap detik hari-hariku. Gairah hidup dan harapanku tercabik-cabik duka cita hatiku yang mengamuk. Hingga mengasingkanku dalam kesunyian. Sekujur jiwaku berkabung cukup lama. Tapi kini dia kembali. Dialah…, tamuku. Mengembalikanku dalam dunia nyata. Membuat suasana kembali normal. Pulih seperti sedia kala.



Tak begitu lama aku menjalankan tugasku sebagai tuan rumah. Dua cangkir kopi hitam hangat dan sedikit kue kering terhidang di atas meja. Dia menyambutnya dengan riang dan langsung meminumnya. Ia sesap kopinya dengan sendok teh yang wajib menemani cangkir kopinya. Kopi hitam memang minuman kesukaannya, dan minum kopi berdua adalah kegiatan yang sering kami lakukan dulu. Itu adalah salah satu kenangan indah yang sering muncul dalam benakku selama ia tak ada.



“Sekarang giliranku memuji, kau tahu, aku tidak pernah merasakan kopi senikmat buatanmu”.



Cengkrama kami semakin hangat. Cerita demi cerita tertuang dengan apik. Bunga-bunga canda sesekali menggelitik dalam keceriaan cengkrama kami. Lama kami melupakan waktu. Sampai akhirnya…, tiba-tiba dia terdiam. Suasana berubah dengan serentak. Akupun terseret dalam binar matanya yang tiba-tiba meredup. Sunyi sekejap.



“Kenapa…?”.



“As, kenapa kau tak bertanya kenapa aku datang?”.



“Untuk apa? Bukankah kita sama-sama bahagia dengan pertemuan ini, jadi tak penting lagi segala pertanyaan ataupun ungkapan alasan”.



“As, apakah kedatanganku berarti bagimu?”.



“Apakah yang terlihat olehmu saat ini belum cukup jadi jawaban?”.



“Jawab saja As, aku ingin mendengarnya langsung dari bibirmu”.



“Saat kau menghilang, aku benar-benar terpukul, aku mencarimu kemanapun yang aku bisa, sampai akhirnya aku dapati yakinku tengah sekarat, aku tak tahu lagi harus mencarimu kemana, aku menyerah, dan semenjak itu aku belajar mengikhlaskan kepergianmu, tapi selalu saja gagal, aku selalu menantikan hari ini”.



Aku menghentikan ceritaku, karena aku melihat matanya berkaca-kaca. Aku diam. Diapun begitu. Ia menatapku sejenak.



“Maaf…”.



Ku jawab dengan gelengan kepala.



“Aku yang seharusnya minta maaf, waktu itu aku tak bisa menahan diri, aku terlalu lancang menembakmu, padahal aku tahu kau telah menjadi miliknya”.



“Apakah kau masih mengharapkan jawabanku?”.



“Aku tak bisa ingkari itu”.



“Saat kau menembakku, aku dicekam dilema, aku tak bisa mengambil keputusan, karena akupun mencintaimu. Sampai akhirnya aku putuskan untuk pergi, bukan hanya meninggalkanmu, tapi juga meninggalkannya. Di duniaku yang baru, dunia tanpa kalian berdua, aku menutup hati, tapi aku tak pernah melepas pandangku dari kalian berdua. Akhirnya aku menemukan jawaban, kaulah yang sejati, aku tahu kau selalu mencariku”.



“Kalau kau tahu aku selalu mencarimu, kenapa kau tak menemuiku?”.



“Rumit As”.



Ia tak bisa lagi membendung gejolak hatinya. Walau wajahnya tetap baja, air matanya meleleh juga. Entah apa yang ia rasakan? Entah apa yang berkecamuk di dadanya. Inginnya aku tak perduli. Tapi…?!



“An, jangan kau rusak indahnya kebahagiaan hari ini dengan air mata, kita nikmati saja pertemuan ini, lupakanlah masa lalu”.



“Apakah semuanya sudah tak lagi menjadi pedulimu. As, masihkah harapanmu tentangku, tentang kita?”.



Aku tak menjawabnya. Aku tak tahu harus bagaimana dan mulai dari mana aku harus bercerita. Air matanya membuatku tak tega untuk menceritakannya.



“As, andaikan harapanmu masih ada, izinkan aku mewujudkannya”.



“Kau pergi begitu lama. Bertahun-tahun cintaku terlunta-lunta. Sampi aku berfikir kalau hari ini takkan pernah ada dan kau takkan pernah jadi miliku. Berfikir seperti itu membuatku terpaksa memberanikan diri merubah haluan. Kau tahu, itu tidak mudah. Aku merasakan sakit luar biasa saat aku melakukannya. Hatiku selalu berontak. Namun aku terus berusaha. Sampai akhirnya, kira-kira satu bulan yang lalu, seorang gadis mengulurkan tangannya menolongku yang tengah terpuruk karenamu. Dia menerima keadaan hatiku apa adanya. Dengan sabar dia membantuku dalam usaha mengikhlaskanmu. Aku tak mau menyakitinya”.



Ia mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan memberikannya padaku sembari bangun dari duduknya.



“Ini kartu namaku, di situ ada alamatku yang baru”.



“Jangan pergi dulu An”.



Ia tak perduli.



“Datanglah kerumahku besok, aku ingin hari ini berlanjut, aku akan terus berharap aku bisa mewujudkan harapanmu itu”.



“Tolong jangan seperti itu An, itu membuatku merasa bersalah”.



Ia pergi tanpa menjawabku. Sifat kerasnya masih belum berubah.



“An….”.



Aku memanggilnya dengan sedikit berteriak, namun ia tetap tak perduli..

Sang Musafir

Seribu jendela menawarkan persinggahan

Seribu taman menawarkan keharuman

Tapi aku musafir

Aku mengembara di padang tak bertuan

Maka jika aku terhenti di rantau hati

Tak akan dapat kukejar purnama malam nanti dengan berlari



Senjaku telah menanti di ufuk

Lelah mulai menyelubung dan menusuk

Telah jauh kuturuni perbukitan dan lembah

Savana kutinggalkan di belakang penuh resah

Aku harus berburu dengan waktu yang tak pernah berhenti

Sementara di hadapanku membentang belukar berduri



Senja di ufuk mulai tak sabar menanti

Karena ia harus membuat kesepakatan dengan syuruq fajar nanti

Maka aku harus menerjang

Sebelum senja berlalu dan menutup gerbang

Sebab aku tidak harus membuat pilihan

Terkapar di lembah tak bertuan atau singgah di jendela jendela penuh keharuman..

Friday, October 14, 2011

Habis Gelap Terbitlah Terang

Saat semua tak di mengerti
Saat semua terasa tak adil
Bukan jawaban yang kau inginkan
Tapi luahan gejolak kekecewaan yang berhamburan

Hati, pikiran dan kata - kata
berwarna kelam...
semburat cahayapun tak mampu menembus
dinding gelapmu

Tetapi kawan...
Bukankah setelah malam menjelang
Pagi yang sejuk, halimun yang menerpa dinding rumah mu
dan kicauan burung menemani kidung bangun pagimu
dalam kelembutan cahaya mentari

kesedihan mu adalah tanda bahwa
dirimu masih bernurani.
Tuhan menciptakan air mata dan juga tawanya
tak selamanya kau dirundung duka
suka mu akan menyusul kemudian
kebahagiaan yang selama ini kau cari
takkan bersinar selama tak kau nyalakan

Habis gelap terbitlah terang...