Pages

Saturday, October 22, 2011

As & An Part I

Ada ketukan di pintu sebelum suara salam yang lembut ku dengar. Ku jawab salam itu dengan lembut pula sebelum ku bukakan pintu. Aku tertegun saat aku menemukan wajah cantik tersenyum padaku. Aku mengenalnya. Tapi aku tak percaya. Aku tak percaya kalau ini nyata. Apakah orang ini adalah dia? Cantiknya sama. Senyum simpulnya sama manisnya. Tapi…, penampilannya berbeda. Anggun. Terlihat begitu dewasa.



“Hai”.



Dia menyapaku dengan nada suaranya yang tetap lembut. Suaranya membuatku semakin tak percaya. Suara ini begitu aku kenal. Sangat aku kenal. Wajah cantik dan suara lembut ini yang selama ini aku rindukan. Yang selama ini, selama beberapa tahun ini menghilang. Aku kehilangan pita suara, tapi aku tak mencarinya, karena aku tak mengerti cara mencarinya. Dia melambaikan tangannya di depan mataku sambil mengulang sapaannya.



“Ha…, hai…”.



Aku tergagap gugup membalas sapaannya. Aku seperti fan’s yang baru bertemu dengan artis idolanya. Aku benar-benar mati gaya. Aku kehilangan banyak ide untuk bicara.



“Kenapa…?”.



Sebuah pertanyaan terhidang dari bibirnya yang masih mencetak senyum yang begitu manis.



“Apakah ini mimpi?”.



Dia mencubit tanganku dengan cukup keras dan cukup membuatku tercekat karena kesakitan.



“Tuh…, kamu masih sadar kan, kenapa sih, aku terlihat aneh ya…?”.



“Oh tidak tidak, justru kamu terlihat makin cantik, malah tadi aku mengira kalau aku sedang melihat bidadari”.



“Huh…, paling bisa deh kalau menyenangkan orang”.



“Aku tidak sedang memuji kamu loh, aku cuma bicara seadanya”.



“Tidak sangka ya, lama tak bertemu, ternyata gombalmu makin dahsyat”.



“Tidak ah, kamu lupa ya kalau aku adalah orang yang paling jujur kalau menilai orang”.



“Iya deh…, makasih atas pujiannya, tapi cukup ya, kalau tidak aku benar-benar terbang nih…”.



“Tapi benar kok, dengan penampilanmu sekarang, kamu terlihat lebih cantik, terlihat seperti perempuan”.



“memangnya dulu aku bukan perempuan?”. Ucapnya tegas.



“Ya…, dulu kan kamu tomboy sekali, tapi sekarang kamu benar-benar feminim”.



“Sudah ah, muji-muji terus, sudah nih begini saja, aku tidak disuruh masuk”.



“Waduh sorry nih, aku lagi sendirian, di luar saja ya”.



Ku persilahkan ia duduk di kursi teras. Ku tawari minum, dia malah mengujiku.



“Aku mau lihat, masih ingat tidak minuman kesukaanku”.



“OK”.



“Jangan pakai lama ya”.



“Baik Non”.



Ia tertawa saat ku tinggal masuk untuk membuat minuman. Hari ini adalah hari yang bersejarah dalam hidupku. Tak akan ku biarkan hari ini hilang dari buku kenanganku. Sampai kapanpun. Akan ku tulis hari ini dalam prasasti dan akan ku simpan di tahta yang tinggi. Di sini, di hatiku. Hari ini adalah hari dimana aku tahu dan mengerti akan apa itu bahagia. Hari ini aku dapat melihat semua warna di dunia ini. Aku baru sadar, kalau dunia ini sangat indah. Setelah sekian lama aku terpuruk. Remuk. Meluruk. Semenjak gadis itu pergi dari kehidupanku. Menghapus diri dari setiap detik hari-hariku. Gairah hidup dan harapanku tercabik-cabik duka cita hatiku yang mengamuk. Hingga mengasingkanku dalam kesunyian. Sekujur jiwaku berkabung cukup lama. Tapi kini dia kembali. Dialah…, tamuku. Mengembalikanku dalam dunia nyata. Membuat suasana kembali normal. Pulih seperti sedia kala.



Tak begitu lama aku menjalankan tugasku sebagai tuan rumah. Dua cangkir kopi hitam hangat dan sedikit kue kering terhidang di atas meja. Dia menyambutnya dengan riang dan langsung meminumnya. Ia sesap kopinya dengan sendok teh yang wajib menemani cangkir kopinya. Kopi hitam memang minuman kesukaannya, dan minum kopi berdua adalah kegiatan yang sering kami lakukan dulu. Itu adalah salah satu kenangan indah yang sering muncul dalam benakku selama ia tak ada.



“Sekarang giliranku memuji, kau tahu, aku tidak pernah merasakan kopi senikmat buatanmu”.



Cengkrama kami semakin hangat. Cerita demi cerita tertuang dengan apik. Bunga-bunga canda sesekali menggelitik dalam keceriaan cengkrama kami. Lama kami melupakan waktu. Sampai akhirnya…, tiba-tiba dia terdiam. Suasana berubah dengan serentak. Akupun terseret dalam binar matanya yang tiba-tiba meredup. Sunyi sekejap.



“Kenapa…?”.



“As, kenapa kau tak bertanya kenapa aku datang?”.



“Untuk apa? Bukankah kita sama-sama bahagia dengan pertemuan ini, jadi tak penting lagi segala pertanyaan ataupun ungkapan alasan”.



“As, apakah kedatanganku berarti bagimu?”.



“Apakah yang terlihat olehmu saat ini belum cukup jadi jawaban?”.



“Jawab saja As, aku ingin mendengarnya langsung dari bibirmu”.



“Saat kau menghilang, aku benar-benar terpukul, aku mencarimu kemanapun yang aku bisa, sampai akhirnya aku dapati yakinku tengah sekarat, aku tak tahu lagi harus mencarimu kemana, aku menyerah, dan semenjak itu aku belajar mengikhlaskan kepergianmu, tapi selalu saja gagal, aku selalu menantikan hari ini”.



Aku menghentikan ceritaku, karena aku melihat matanya berkaca-kaca. Aku diam. Diapun begitu. Ia menatapku sejenak.



“Maaf…”.



Ku jawab dengan gelengan kepala.



“Aku yang seharusnya minta maaf, waktu itu aku tak bisa menahan diri, aku terlalu lancang menembakmu, padahal aku tahu kau telah menjadi miliknya”.



“Apakah kau masih mengharapkan jawabanku?”.



“Aku tak bisa ingkari itu”.



“Saat kau menembakku, aku dicekam dilema, aku tak bisa mengambil keputusan, karena akupun mencintaimu. Sampai akhirnya aku putuskan untuk pergi, bukan hanya meninggalkanmu, tapi juga meninggalkannya. Di duniaku yang baru, dunia tanpa kalian berdua, aku menutup hati, tapi aku tak pernah melepas pandangku dari kalian berdua. Akhirnya aku menemukan jawaban, kaulah yang sejati, aku tahu kau selalu mencariku”.



“Kalau kau tahu aku selalu mencarimu, kenapa kau tak menemuiku?”.



“Rumit As”.



Ia tak bisa lagi membendung gejolak hatinya. Walau wajahnya tetap baja, air matanya meleleh juga. Entah apa yang ia rasakan? Entah apa yang berkecamuk di dadanya. Inginnya aku tak perduli. Tapi…?!



“An, jangan kau rusak indahnya kebahagiaan hari ini dengan air mata, kita nikmati saja pertemuan ini, lupakanlah masa lalu”.



“Apakah semuanya sudah tak lagi menjadi pedulimu. As, masihkah harapanmu tentangku, tentang kita?”.



Aku tak menjawabnya. Aku tak tahu harus bagaimana dan mulai dari mana aku harus bercerita. Air matanya membuatku tak tega untuk menceritakannya.



“As, andaikan harapanmu masih ada, izinkan aku mewujudkannya”.



“Kau pergi begitu lama. Bertahun-tahun cintaku terlunta-lunta. Sampi aku berfikir kalau hari ini takkan pernah ada dan kau takkan pernah jadi miliku. Berfikir seperti itu membuatku terpaksa memberanikan diri merubah haluan. Kau tahu, itu tidak mudah. Aku merasakan sakit luar biasa saat aku melakukannya. Hatiku selalu berontak. Namun aku terus berusaha. Sampai akhirnya, kira-kira satu bulan yang lalu, seorang gadis mengulurkan tangannya menolongku yang tengah terpuruk karenamu. Dia menerima keadaan hatiku apa adanya. Dengan sabar dia membantuku dalam usaha mengikhlaskanmu. Aku tak mau menyakitinya”.



Ia mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan memberikannya padaku sembari bangun dari duduknya.



“Ini kartu namaku, di situ ada alamatku yang baru”.



“Jangan pergi dulu An”.



Ia tak perduli.



“Datanglah kerumahku besok, aku ingin hari ini berlanjut, aku akan terus berharap aku bisa mewujudkan harapanmu itu”.



“Tolong jangan seperti itu An, itu membuatku merasa bersalah”.



Ia pergi tanpa menjawabku. Sifat kerasnya masih belum berubah.



“An….”.



Aku memanggilnya dengan sedikit berteriak, namun ia tetap tak perduli..

Sang Musafir

Seribu jendela menawarkan persinggahan

Seribu taman menawarkan keharuman

Tapi aku musafir

Aku mengembara di padang tak bertuan

Maka jika aku terhenti di rantau hati

Tak akan dapat kukejar purnama malam nanti dengan berlari



Senjaku telah menanti di ufuk

Lelah mulai menyelubung dan menusuk

Telah jauh kuturuni perbukitan dan lembah

Savana kutinggalkan di belakang penuh resah

Aku harus berburu dengan waktu yang tak pernah berhenti

Sementara di hadapanku membentang belukar berduri



Senja di ufuk mulai tak sabar menanti

Karena ia harus membuat kesepakatan dengan syuruq fajar nanti

Maka aku harus menerjang

Sebelum senja berlalu dan menutup gerbang

Sebab aku tidak harus membuat pilihan

Terkapar di lembah tak bertuan atau singgah di jendela jendela penuh keharuman..

Friday, October 14, 2011

Habis Gelap Terbitlah Terang

Saat semua tak di mengerti
Saat semua terasa tak adil
Bukan jawaban yang kau inginkan
Tapi luahan gejolak kekecewaan yang berhamburan

Hati, pikiran dan kata - kata
berwarna kelam...
semburat cahayapun tak mampu menembus
dinding gelapmu

Tetapi kawan...
Bukankah setelah malam menjelang
Pagi yang sejuk, halimun yang menerpa dinding rumah mu
dan kicauan burung menemani kidung bangun pagimu
dalam kelembutan cahaya mentari

kesedihan mu adalah tanda bahwa
dirimu masih bernurani.
Tuhan menciptakan air mata dan juga tawanya
tak selamanya kau dirundung duka
suka mu akan menyusul kemudian
kebahagiaan yang selama ini kau cari
takkan bersinar selama tak kau nyalakan

Habis gelap terbitlah terang...

Saturday, October 8, 2011

Waktu Datang Untuk Hilang

Tak ada seindah waktu yang berlalu, yang mampu aku kenang dengan tawa atau tangis. banyak yang bilang gunakan waktu dengan sebaik - baiknya atau waktu adalah uang. waktu adalah kehidupan yang tanpa sengaja aku hitung dari detik awal hidupku hingga kini. waktu senantiasa menemani di setiap tempat yang aku singgahi, waktu mengajariku kesabaran untuk mengikuti apa yang ditetapkan-Nya. waktu juga yang mengingatkan bahwasanya nasib adalah buah dari pilihan hidup yang ia tunjukan pada saatnya. bersabarlah karena waktu takkan pernah lebih cepat atau lambat.

Dan demi waktu yang tak terhentikan aku melangkah mengikuti apa yang ditunjuknya untukku. Menumbangkan tubuh di malamnya dan terbangun di fajarnya agar aku siap untuk melangkah kembali.

Tak ada yang abadi dalam waktu, semuanya berlalu. kerabat, sahabat, keluarga dan cinta karena tak ada pertemuan yang tak berujung perpisahan. takkan kulihat lagi kebersamaan kalian, tak kudengar lagi tawa dan tangis kalian. hanya mampu menghelakan nafas sejenak ketika waktu datang untuk hilang..

Cemara..

Dikenal banyak orang, tapi mudah berlalu
Indahmu hanya dari kejauhan
Begitu kudekati, kau tak mampu kupanjat
Aku menyebutmu cemara dibukit tertinggi

Mungkin hanya sebuah pohon taman yang berdiri diatas bukit
Saat angin menyentuhmu kau tenang tak bergoyang
Indahmu hanya dalam kejauhan
Namun ketika semakin dekat, gugur daunmu satu-persatu
Aku menyebutmu cemara yang tak berdaya

Saat kemarau tiba
Cemaraku pernah kering, gugur dan tak berembun
Begitu kembali datangnya musim penghujan
Kau tetap cemara yang tak berdaya

Harus bagaimana ku menalar indahmu?
Sedang, Air mataku telah mengalir tiada henti
Ku ingin menyudahi penderitaan ini
Namun aku bingung, cara apa yang pantas untuk merawatmu?

Haruskah aku berjalan sendiri?
Mengarungi beban hidup yang berliku
Sedangkan liku perjalananku telah tandus tanpa hias cemaramu
Sebenarnya setiap aku menatapmu aku selalu merasa kesejukan
Melihat kau kokoh dipuncak-puncak tertinggi, aku terkuatkan
Namun Kasih, Sayang dan Rindu seperti embun yang menghilang

Cemaraku…… embun ini adalah
Cinta yang menyakitkan untuk mu
Cinta yang mencampakan dirimu
Bahkan cinta yang tandus, kering dan tak terawat untukmu

Diammu membuatku paham, kokohmu membuatku mengerti
Mungkin naluriku benar, diri ini tak pantas lagi menyandingmu

Cemaraku…… Kau indah dalam kejauhan, dan begitu dekat dalam ingatan
Tapi tetap saja ku tak dapat menemukan bungamu yang tak kering dan berjatuhan

Sungguh tak kubayangkan jika semua terjadi
Aku hanya ingin jiwa ini berguna
bukan menyakitimu, apalagi sampai membuat mu menderita


Cemaraku… Aku ikhlas…
kelak kau akan tahu
kelak kau akan mengerti

Kau akan terhiaskan oleh elegi yang abadi
Kau akan subur dengan tanpaku
biarkan airmata ini menyiram akar kuatmu
Dan menjadi kesudahan yang terkenang

Cemaraku… Aku berdoa kelak kau tumbuh subur dibukit tertinggi
Yang kan meraih beningnya embun yang abadi
Aku hanya bisa menatapmu dan melihat indahmu dan tak pernah memahamimu

Kasih sayang ini milikmu..

For My Sister :)

Kau memintaku menemanimu menatap mentari pagi bersama

Dan kau membagi udara segar yang kau hirup saat membuka jendela kamarmu

Untuk bersama melewati pelangi kehidupan yang kan segera dimulai

Antara aku dan kau adikku

Yang kan aku sebut cahaya mataku, itu kau adikku

Yang menjadi embun dipagiku, itu kau adikku

Terima kasih telah hadir di kehidupanku, yang dulu mungkin tak pernah terlintas seperti ini jadinya. Kau yang pernah mengembalikan apa yang telah hilang dariku, walau kau tak pernah tau. Kau ada membuatku ada untuk dahulu yang tak ada atau mungkin takkan pernah ada. Kau selalu menunjukan padaku bahwa kelemahanmu itulah kekuatanmu.

Tanpa kau sadari kau telah membuat ku selalu ingin menjadi penghangat saat kau menggigil melawan dingin yang menusuk tubuh kecilmu, yang juga menggetarkan bibir mungilmu. Menjaga jiwamu dan menguatkan hatimu agar tak keruh oleh debu – debu permasalahan.

Akan kita lalui hari dengan memandang indahnya dunia persahabatan, menembus gelapnya kesulitan, dengan satu helaan nafas kejujuran. Bukan demi seseorang tapi karena kepedulian. Jangan selamatkan hati kita ketika kita tau akan ada hati yang terluka. Kita satukan perbedaan menjadi indahnya pelangi kehidupan yang kan kita nikmati pada akhirnya..

Undangan ku

Ku undang kau datang kedalam hidupku

ku persilahkan kau masuk kedalam bersihnya rumah hatiku

ku persilahkan kau duduk di kursi kejujuran

dan akan ku suguhi kau dengan segelas teh kesabaran

di tambah sedikit makanan ketegaran

dan bersantailah sedikit lalu rasakanlah sejuknya angin kesetian

yang berhembus dalam rumah hatiku ini..

Sang Sepi

Ketika hari menanggalkan jubah lembayungnya dan mengenakan pakaian hitam kebesarannya aku melihat sepi merangkak menuju ranjangnya sambil membawa mahkota yang bertatahkan berlian surya ia berbaring di atas ranjang kehidupan yang begitu keras hingga lukai jantungnya. Ketika surya menyingkap tirai malam yang megah, semegah istana Sulaiman nampak sosok hangat senyuman mega yang berbaur bersama embun dan kabut pagi yang menyeruak, sang sepi pun terlihat beranjak dari ranjangnya dan mengenakan pakaian hitam yang terlihat berkilau tersibak cahaya aku mengikuti langkah dan seluruh helaan nafasnya dengan seksama lalu di persimpangan aku bertanya kepadanya, “wahai sepi, hendak ke mana kah engkau beranjak?” “Aku hendak pergi ke alun-alun kota,” jawabnya. “apa yang hendak eangkau lakukan di tengah riuhnya pusat kota?” “Aku hendak pulang ke rumah,” jawabnya. “bukankah tempatmu di sana, di antara himpitan jurang dan langit yang menjulanginya?” “Bukan, di sana tempat sang damai bukan tempat tinggalku. Aku hidup di tengah keramaian dan tumbuh di antara hiruk-pikuk dunia.” Lalu dia pun meneruskan langkahnya, sedangkan aku tertunduk memikirkan semua yang baru saja sang sepi sampaikan...

Embun

Berjalan ku menapaki setiap jalan aspal yang penuh kerikil, meneti setiap pohon-pohon duri yang teruntai melintang di muka fajar yang kian ku pijakan langkah ini kian dalamlah duri itu menancap. Mencium setiap amisnya cucuran darah yang memenuhi kaki jalan. Meneruskan rasa perih dan jijik ini hingga ke perapianku. Ku lihat dalam perapian itu untaian cerita tatkala sang Khaliq menciptakan bumi dengan penuh kasih...

Mencucurkan setiap kebajikan ketika Engkau menyusun kehidupan
Melengkapi setiap ciptaan-Mu dengan begitu sempurna
Ketika Engkau menciptakan hawa sebagai pasangan bagi adam
Memasangkan sang malam dengan sang siang
Saat mempersuntingkan api dengan air
Mengikuti setiap cahaya dengan bayangnya
Membertemukan embun puncak gunung dengan keelokan air samudra
Melengkapi setiap daun yang berguguran dengan seekor cacing yang setia

Yang terus memperdalam dahaga dari pandangan terhadap perapian itu. Yang lalu membakar ke dalam pikiran dan menuntunku tuk meninggalkan perapian ini dan menanggalkan jubah kegelapan yang slalu ku banggakan. Setapak demi setapak langkah ini menginjak duri-duri itu lagi, tapi kini aku berjalan ke arah yang baru, arah yang tak pernah ku tuju. Meniti perjalanan terjal melalui jurang asa demi menyentuh dinginnya air sungai embun yang tertatah pada himpitan kaki gunung yang menembus putih sucinya awan yang bergumul. Ku luruhkan setiap lelah yang ku pijak, ku hapuskan setiap perih amis yang ku cium, ku basuh setiap bara hati yang kau hidupi, dengan elok dan dinginnya embun ini