Pages

Friday, December 23, 2011

Dibalik Cinta Dalam Diam

Dibalik cinta dalam diam

aku belajar mencintai dengan tulus, ikhlas, dan karena-Nya

dibalik cinta dalam diam

aku belajar sabar dan berserah diri pada-Nya

dibalik cinta dalam diam

aku belajar menghormati hijabmu dan menjaga pesona permata hatimu

dibalik cinta dalam diam

tersimpan cinta yang begitu istimewa dan selalu berharap atas ridha-Nya

Saturday, December 3, 2011

Siang Disebuah Jalan

Siang di sebuah jalan, di bawah papan iklan raksasa yang melintang, seorang wanita menggandeng tangan anak gadisnya. Sudah lima belas menit mereka ada di sana, di atas pembatas yang membagi jalan itu menjadi dua belantara liar dengan ratusan kendaraan yang menyerupai hewan kelaparan berlarian memburu mangsa. Belantara di belakang mereka, sudah berhasil di lalui lima belas menit yang lalu, setelah hamper setengah jam menunggu. Itupun masih menyisakan debaran jantung karena sebuah motor yang melintas dengan cepat hampir saja menabrak mereka tadi, masih pula disertai makian dari si pengemudi.



“Ima takut, Bu.”



Ima, anak gadis, itu merapat ke tubuh ibunya. Di tangan kirinya digenggam sebuah tas plastik berisi baju yang baru saja dibelikan oleh ibunya di pasar tadi. Bukan baju yang mahal, tapi dia senang sekali, dia memilihnya sendiri tadi. Hari ini genap dua belas tahun usianya, dan baju itu adalah hadiah ulang tahunnya. Wanita itu merasakan ketakutan anaknya melihat belantara di depan matanya, dia tidak ingin menambahnya dengan memperlihatkan ketakutannya. Sebagai seorang ibu dia sungguh ingin merasa anak gadisnya itu merasa terlindung di dekatnya.



“Jangan takut, nduk. Sebentar lagi juga kita bisa menyeberangi jalan ini. Lalu nanti sampai di rumah kau bisa coba bajumu itu. Pasti kau cantik sekali dengan baju baru itu.”



Anak gadis itu bisa sedikit tersenyum, tapi ketakutan masih terlukis di wajahnya. Dia bertanya-tanya, tak bisakah sehari saja, di hari ini, hari ulang tahunnya, semua kendaraan itu mau berhenti dan memberi jalan bagi dia dan ibunya. Dia merasa seharusnya dia layak mendapatkannya, seperti mendapatkan baju baru dari ibunya.



Tapi tentu saja mobil-mobil itu bukan ibunya, juga motor-motor itu. Mereka tak merasa perlu memberi jalan pada anak gadis itu, lagipula mereka juga tak tahu kalau anak gadis itu berulang tahun bukan? Tak perlu, tak tahu dan tak mau tahu. Mereka juga punya kepentingan masing-masing yang mungkin tak kalah penting hingga harus memacu kendaraannya secepat itu, se-tak perduli itu.



Bukankah mereka adalah sekawanan hewan kelaparan yang berlari untuk memburu mangsa, tak ingin jika mangsa itu lepas karena lari mereka terlalu lambat? Wanita bersama anak gadisnya itu tentu saja juga tak bisa melihat atau mendengar alasan-alasan di benak mereka.



“Mungkin kita harus mengatakannya, Bu.”



“Mengatakan apa?”



“Mengatakan ke mereka kalau kita sudah menunggu lama untuk menyeberang. Kalau kita tidak mengatakannya mereka kan tidak akan tahu. Katakan juga kalau aku sedang berulang tahun, mungkin itu akan membuat mereka mau memberi jalan.”



Sang ibu tersenyum, “Mereka kan bisa melihat kita, tanpa harus diberi tahu seharusnya mereka sudah tahu kalau kita akan menyeberang. Lagipula bagaimana cara mengatakannya? Lihat, mereka kan melaju dengan sangat cepat, suara kita juga tak akan bisa mengalahkan bunyi mesin-mesin itu. Tunggulah dulu sebentar, nduk. Sabar ya…



Sabar.”



Kata-kata itu seperti juga ditunjukkan bagi dirinya sendiri. Ia juga sebenarnya mulai tak sabar melihat rentetan kendaraan berkecepatan tinggi yang tanpa jeda. Traffic light terdekat berjarak hampir satu kilo-meter sehingga jeda kosong antar barisan kendaraan sudah hilang imbasnya pada lokasi tempat mereka akan menyeberang.



Setelah lima belas menit lagi berlalu, wanita itu mulai putus asa.



“Ya, mungkin kita perlu mencobanya ..”, gumamnya lirih. Sang anak tidak mendengarnya dan gumaman itu memang tidak benar-benar ditujukan untuknya. Lalu wanita itu melepas gandengannya, membungkuk sambil mengelus kepala anaknya, “Tunggu dulu di sini ya nduk. Ibu akan mencoba mengatakannya pada mereka.”



“Tapi .. bagaimana caranya, Bu?”



Mata anaknya yang kebingungan tiba-tiba saja menimbulkan dorongan yang sangat kuat bagi wanita itu untuk memeluknya. Erat memeluknya.



“Selamat ulang tahun, nduk .. Ibu sayang kamu.”

Saturday, October 22, 2011

As & An Part I

Ada ketukan di pintu sebelum suara salam yang lembut ku dengar. Ku jawab salam itu dengan lembut pula sebelum ku bukakan pintu. Aku tertegun saat aku menemukan wajah cantik tersenyum padaku. Aku mengenalnya. Tapi aku tak percaya. Aku tak percaya kalau ini nyata. Apakah orang ini adalah dia? Cantiknya sama. Senyum simpulnya sama manisnya. Tapi…, penampilannya berbeda. Anggun. Terlihat begitu dewasa.



“Hai”.



Dia menyapaku dengan nada suaranya yang tetap lembut. Suaranya membuatku semakin tak percaya. Suara ini begitu aku kenal. Sangat aku kenal. Wajah cantik dan suara lembut ini yang selama ini aku rindukan. Yang selama ini, selama beberapa tahun ini menghilang. Aku kehilangan pita suara, tapi aku tak mencarinya, karena aku tak mengerti cara mencarinya. Dia melambaikan tangannya di depan mataku sambil mengulang sapaannya.



“Ha…, hai…”.



Aku tergagap gugup membalas sapaannya. Aku seperti fan’s yang baru bertemu dengan artis idolanya. Aku benar-benar mati gaya. Aku kehilangan banyak ide untuk bicara.



“Kenapa…?”.



Sebuah pertanyaan terhidang dari bibirnya yang masih mencetak senyum yang begitu manis.



“Apakah ini mimpi?”.



Dia mencubit tanganku dengan cukup keras dan cukup membuatku tercekat karena kesakitan.



“Tuh…, kamu masih sadar kan, kenapa sih, aku terlihat aneh ya…?”.



“Oh tidak tidak, justru kamu terlihat makin cantik, malah tadi aku mengira kalau aku sedang melihat bidadari”.



“Huh…, paling bisa deh kalau menyenangkan orang”.



“Aku tidak sedang memuji kamu loh, aku cuma bicara seadanya”.



“Tidak sangka ya, lama tak bertemu, ternyata gombalmu makin dahsyat”.



“Tidak ah, kamu lupa ya kalau aku adalah orang yang paling jujur kalau menilai orang”.



“Iya deh…, makasih atas pujiannya, tapi cukup ya, kalau tidak aku benar-benar terbang nih…”.



“Tapi benar kok, dengan penampilanmu sekarang, kamu terlihat lebih cantik, terlihat seperti perempuan”.



“memangnya dulu aku bukan perempuan?”. Ucapnya tegas.



“Ya…, dulu kan kamu tomboy sekali, tapi sekarang kamu benar-benar feminim”.



“Sudah ah, muji-muji terus, sudah nih begini saja, aku tidak disuruh masuk”.



“Waduh sorry nih, aku lagi sendirian, di luar saja ya”.



Ku persilahkan ia duduk di kursi teras. Ku tawari minum, dia malah mengujiku.



“Aku mau lihat, masih ingat tidak minuman kesukaanku”.



“OK”.



“Jangan pakai lama ya”.



“Baik Non”.



Ia tertawa saat ku tinggal masuk untuk membuat minuman. Hari ini adalah hari yang bersejarah dalam hidupku. Tak akan ku biarkan hari ini hilang dari buku kenanganku. Sampai kapanpun. Akan ku tulis hari ini dalam prasasti dan akan ku simpan di tahta yang tinggi. Di sini, di hatiku. Hari ini adalah hari dimana aku tahu dan mengerti akan apa itu bahagia. Hari ini aku dapat melihat semua warna di dunia ini. Aku baru sadar, kalau dunia ini sangat indah. Setelah sekian lama aku terpuruk. Remuk. Meluruk. Semenjak gadis itu pergi dari kehidupanku. Menghapus diri dari setiap detik hari-hariku. Gairah hidup dan harapanku tercabik-cabik duka cita hatiku yang mengamuk. Hingga mengasingkanku dalam kesunyian. Sekujur jiwaku berkabung cukup lama. Tapi kini dia kembali. Dialah…, tamuku. Mengembalikanku dalam dunia nyata. Membuat suasana kembali normal. Pulih seperti sedia kala.



Tak begitu lama aku menjalankan tugasku sebagai tuan rumah. Dua cangkir kopi hitam hangat dan sedikit kue kering terhidang di atas meja. Dia menyambutnya dengan riang dan langsung meminumnya. Ia sesap kopinya dengan sendok teh yang wajib menemani cangkir kopinya. Kopi hitam memang minuman kesukaannya, dan minum kopi berdua adalah kegiatan yang sering kami lakukan dulu. Itu adalah salah satu kenangan indah yang sering muncul dalam benakku selama ia tak ada.



“Sekarang giliranku memuji, kau tahu, aku tidak pernah merasakan kopi senikmat buatanmu”.



Cengkrama kami semakin hangat. Cerita demi cerita tertuang dengan apik. Bunga-bunga canda sesekali menggelitik dalam keceriaan cengkrama kami. Lama kami melupakan waktu. Sampai akhirnya…, tiba-tiba dia terdiam. Suasana berubah dengan serentak. Akupun terseret dalam binar matanya yang tiba-tiba meredup. Sunyi sekejap.



“Kenapa…?”.



“As, kenapa kau tak bertanya kenapa aku datang?”.



“Untuk apa? Bukankah kita sama-sama bahagia dengan pertemuan ini, jadi tak penting lagi segala pertanyaan ataupun ungkapan alasan”.



“As, apakah kedatanganku berarti bagimu?”.



“Apakah yang terlihat olehmu saat ini belum cukup jadi jawaban?”.



“Jawab saja As, aku ingin mendengarnya langsung dari bibirmu”.



“Saat kau menghilang, aku benar-benar terpukul, aku mencarimu kemanapun yang aku bisa, sampai akhirnya aku dapati yakinku tengah sekarat, aku tak tahu lagi harus mencarimu kemana, aku menyerah, dan semenjak itu aku belajar mengikhlaskan kepergianmu, tapi selalu saja gagal, aku selalu menantikan hari ini”.



Aku menghentikan ceritaku, karena aku melihat matanya berkaca-kaca. Aku diam. Diapun begitu. Ia menatapku sejenak.



“Maaf…”.



Ku jawab dengan gelengan kepala.



“Aku yang seharusnya minta maaf, waktu itu aku tak bisa menahan diri, aku terlalu lancang menembakmu, padahal aku tahu kau telah menjadi miliknya”.



“Apakah kau masih mengharapkan jawabanku?”.



“Aku tak bisa ingkari itu”.



“Saat kau menembakku, aku dicekam dilema, aku tak bisa mengambil keputusan, karena akupun mencintaimu. Sampai akhirnya aku putuskan untuk pergi, bukan hanya meninggalkanmu, tapi juga meninggalkannya. Di duniaku yang baru, dunia tanpa kalian berdua, aku menutup hati, tapi aku tak pernah melepas pandangku dari kalian berdua. Akhirnya aku menemukan jawaban, kaulah yang sejati, aku tahu kau selalu mencariku”.



“Kalau kau tahu aku selalu mencarimu, kenapa kau tak menemuiku?”.



“Rumit As”.



Ia tak bisa lagi membendung gejolak hatinya. Walau wajahnya tetap baja, air matanya meleleh juga. Entah apa yang ia rasakan? Entah apa yang berkecamuk di dadanya. Inginnya aku tak perduli. Tapi…?!



“An, jangan kau rusak indahnya kebahagiaan hari ini dengan air mata, kita nikmati saja pertemuan ini, lupakanlah masa lalu”.



“Apakah semuanya sudah tak lagi menjadi pedulimu. As, masihkah harapanmu tentangku, tentang kita?”.



Aku tak menjawabnya. Aku tak tahu harus bagaimana dan mulai dari mana aku harus bercerita. Air matanya membuatku tak tega untuk menceritakannya.



“As, andaikan harapanmu masih ada, izinkan aku mewujudkannya”.



“Kau pergi begitu lama. Bertahun-tahun cintaku terlunta-lunta. Sampi aku berfikir kalau hari ini takkan pernah ada dan kau takkan pernah jadi miliku. Berfikir seperti itu membuatku terpaksa memberanikan diri merubah haluan. Kau tahu, itu tidak mudah. Aku merasakan sakit luar biasa saat aku melakukannya. Hatiku selalu berontak. Namun aku terus berusaha. Sampai akhirnya, kira-kira satu bulan yang lalu, seorang gadis mengulurkan tangannya menolongku yang tengah terpuruk karenamu. Dia menerima keadaan hatiku apa adanya. Dengan sabar dia membantuku dalam usaha mengikhlaskanmu. Aku tak mau menyakitinya”.



Ia mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan memberikannya padaku sembari bangun dari duduknya.



“Ini kartu namaku, di situ ada alamatku yang baru”.



“Jangan pergi dulu An”.



Ia tak perduli.



“Datanglah kerumahku besok, aku ingin hari ini berlanjut, aku akan terus berharap aku bisa mewujudkan harapanmu itu”.



“Tolong jangan seperti itu An, itu membuatku merasa bersalah”.



Ia pergi tanpa menjawabku. Sifat kerasnya masih belum berubah.



“An….”.



Aku memanggilnya dengan sedikit berteriak, namun ia tetap tak perduli..

Sang Musafir

Seribu jendela menawarkan persinggahan

Seribu taman menawarkan keharuman

Tapi aku musafir

Aku mengembara di padang tak bertuan

Maka jika aku terhenti di rantau hati

Tak akan dapat kukejar purnama malam nanti dengan berlari



Senjaku telah menanti di ufuk

Lelah mulai menyelubung dan menusuk

Telah jauh kuturuni perbukitan dan lembah

Savana kutinggalkan di belakang penuh resah

Aku harus berburu dengan waktu yang tak pernah berhenti

Sementara di hadapanku membentang belukar berduri



Senja di ufuk mulai tak sabar menanti

Karena ia harus membuat kesepakatan dengan syuruq fajar nanti

Maka aku harus menerjang

Sebelum senja berlalu dan menutup gerbang

Sebab aku tidak harus membuat pilihan

Terkapar di lembah tak bertuan atau singgah di jendela jendela penuh keharuman..

Friday, October 14, 2011

Habis Gelap Terbitlah Terang

Saat semua tak di mengerti
Saat semua terasa tak adil
Bukan jawaban yang kau inginkan
Tapi luahan gejolak kekecewaan yang berhamburan

Hati, pikiran dan kata - kata
berwarna kelam...
semburat cahayapun tak mampu menembus
dinding gelapmu

Tetapi kawan...
Bukankah setelah malam menjelang
Pagi yang sejuk, halimun yang menerpa dinding rumah mu
dan kicauan burung menemani kidung bangun pagimu
dalam kelembutan cahaya mentari

kesedihan mu adalah tanda bahwa
dirimu masih bernurani.
Tuhan menciptakan air mata dan juga tawanya
tak selamanya kau dirundung duka
suka mu akan menyusul kemudian
kebahagiaan yang selama ini kau cari
takkan bersinar selama tak kau nyalakan

Habis gelap terbitlah terang...

Saturday, October 8, 2011

Waktu Datang Untuk Hilang

Tak ada seindah waktu yang berlalu, yang mampu aku kenang dengan tawa atau tangis. banyak yang bilang gunakan waktu dengan sebaik - baiknya atau waktu adalah uang. waktu adalah kehidupan yang tanpa sengaja aku hitung dari detik awal hidupku hingga kini. waktu senantiasa menemani di setiap tempat yang aku singgahi, waktu mengajariku kesabaran untuk mengikuti apa yang ditetapkan-Nya. waktu juga yang mengingatkan bahwasanya nasib adalah buah dari pilihan hidup yang ia tunjukan pada saatnya. bersabarlah karena waktu takkan pernah lebih cepat atau lambat.

Dan demi waktu yang tak terhentikan aku melangkah mengikuti apa yang ditunjuknya untukku. Menumbangkan tubuh di malamnya dan terbangun di fajarnya agar aku siap untuk melangkah kembali.

Tak ada yang abadi dalam waktu, semuanya berlalu. kerabat, sahabat, keluarga dan cinta karena tak ada pertemuan yang tak berujung perpisahan. takkan kulihat lagi kebersamaan kalian, tak kudengar lagi tawa dan tangis kalian. hanya mampu menghelakan nafas sejenak ketika waktu datang untuk hilang..

Cemara..

Dikenal banyak orang, tapi mudah berlalu
Indahmu hanya dari kejauhan
Begitu kudekati, kau tak mampu kupanjat
Aku menyebutmu cemara dibukit tertinggi

Mungkin hanya sebuah pohon taman yang berdiri diatas bukit
Saat angin menyentuhmu kau tenang tak bergoyang
Indahmu hanya dalam kejauhan
Namun ketika semakin dekat, gugur daunmu satu-persatu
Aku menyebutmu cemara yang tak berdaya

Saat kemarau tiba
Cemaraku pernah kering, gugur dan tak berembun
Begitu kembali datangnya musim penghujan
Kau tetap cemara yang tak berdaya

Harus bagaimana ku menalar indahmu?
Sedang, Air mataku telah mengalir tiada henti
Ku ingin menyudahi penderitaan ini
Namun aku bingung, cara apa yang pantas untuk merawatmu?

Haruskah aku berjalan sendiri?
Mengarungi beban hidup yang berliku
Sedangkan liku perjalananku telah tandus tanpa hias cemaramu
Sebenarnya setiap aku menatapmu aku selalu merasa kesejukan
Melihat kau kokoh dipuncak-puncak tertinggi, aku terkuatkan
Namun Kasih, Sayang dan Rindu seperti embun yang menghilang

Cemaraku…… embun ini adalah
Cinta yang menyakitkan untuk mu
Cinta yang mencampakan dirimu
Bahkan cinta yang tandus, kering dan tak terawat untukmu

Diammu membuatku paham, kokohmu membuatku mengerti
Mungkin naluriku benar, diri ini tak pantas lagi menyandingmu

Cemaraku…… Kau indah dalam kejauhan, dan begitu dekat dalam ingatan
Tapi tetap saja ku tak dapat menemukan bungamu yang tak kering dan berjatuhan

Sungguh tak kubayangkan jika semua terjadi
Aku hanya ingin jiwa ini berguna
bukan menyakitimu, apalagi sampai membuat mu menderita


Cemaraku… Aku ikhlas…
kelak kau akan tahu
kelak kau akan mengerti

Kau akan terhiaskan oleh elegi yang abadi
Kau akan subur dengan tanpaku
biarkan airmata ini menyiram akar kuatmu
Dan menjadi kesudahan yang terkenang

Cemaraku… Aku berdoa kelak kau tumbuh subur dibukit tertinggi
Yang kan meraih beningnya embun yang abadi
Aku hanya bisa menatapmu dan melihat indahmu dan tak pernah memahamimu

Kasih sayang ini milikmu..

For My Sister :)

Kau memintaku menemanimu menatap mentari pagi bersama

Dan kau membagi udara segar yang kau hirup saat membuka jendela kamarmu

Untuk bersama melewati pelangi kehidupan yang kan segera dimulai

Antara aku dan kau adikku

Yang kan aku sebut cahaya mataku, itu kau adikku

Yang menjadi embun dipagiku, itu kau adikku

Terima kasih telah hadir di kehidupanku, yang dulu mungkin tak pernah terlintas seperti ini jadinya. Kau yang pernah mengembalikan apa yang telah hilang dariku, walau kau tak pernah tau. Kau ada membuatku ada untuk dahulu yang tak ada atau mungkin takkan pernah ada. Kau selalu menunjukan padaku bahwa kelemahanmu itulah kekuatanmu.

Tanpa kau sadari kau telah membuat ku selalu ingin menjadi penghangat saat kau menggigil melawan dingin yang menusuk tubuh kecilmu, yang juga menggetarkan bibir mungilmu. Menjaga jiwamu dan menguatkan hatimu agar tak keruh oleh debu – debu permasalahan.

Akan kita lalui hari dengan memandang indahnya dunia persahabatan, menembus gelapnya kesulitan, dengan satu helaan nafas kejujuran. Bukan demi seseorang tapi karena kepedulian. Jangan selamatkan hati kita ketika kita tau akan ada hati yang terluka. Kita satukan perbedaan menjadi indahnya pelangi kehidupan yang kan kita nikmati pada akhirnya..

Undangan ku

Ku undang kau datang kedalam hidupku

ku persilahkan kau masuk kedalam bersihnya rumah hatiku

ku persilahkan kau duduk di kursi kejujuran

dan akan ku suguhi kau dengan segelas teh kesabaran

di tambah sedikit makanan ketegaran

dan bersantailah sedikit lalu rasakanlah sejuknya angin kesetian

yang berhembus dalam rumah hatiku ini..

Sang Sepi

Ketika hari menanggalkan jubah lembayungnya dan mengenakan pakaian hitam kebesarannya aku melihat sepi merangkak menuju ranjangnya sambil membawa mahkota yang bertatahkan berlian surya ia berbaring di atas ranjang kehidupan yang begitu keras hingga lukai jantungnya. Ketika surya menyingkap tirai malam yang megah, semegah istana Sulaiman nampak sosok hangat senyuman mega yang berbaur bersama embun dan kabut pagi yang menyeruak, sang sepi pun terlihat beranjak dari ranjangnya dan mengenakan pakaian hitam yang terlihat berkilau tersibak cahaya aku mengikuti langkah dan seluruh helaan nafasnya dengan seksama lalu di persimpangan aku bertanya kepadanya, “wahai sepi, hendak ke mana kah engkau beranjak?” “Aku hendak pergi ke alun-alun kota,” jawabnya. “apa yang hendak eangkau lakukan di tengah riuhnya pusat kota?” “Aku hendak pulang ke rumah,” jawabnya. “bukankah tempatmu di sana, di antara himpitan jurang dan langit yang menjulanginya?” “Bukan, di sana tempat sang damai bukan tempat tinggalku. Aku hidup di tengah keramaian dan tumbuh di antara hiruk-pikuk dunia.” Lalu dia pun meneruskan langkahnya, sedangkan aku tertunduk memikirkan semua yang baru saja sang sepi sampaikan...

Embun

Berjalan ku menapaki setiap jalan aspal yang penuh kerikil, meneti setiap pohon-pohon duri yang teruntai melintang di muka fajar yang kian ku pijakan langkah ini kian dalamlah duri itu menancap. Mencium setiap amisnya cucuran darah yang memenuhi kaki jalan. Meneruskan rasa perih dan jijik ini hingga ke perapianku. Ku lihat dalam perapian itu untaian cerita tatkala sang Khaliq menciptakan bumi dengan penuh kasih...

Mencucurkan setiap kebajikan ketika Engkau menyusun kehidupan
Melengkapi setiap ciptaan-Mu dengan begitu sempurna
Ketika Engkau menciptakan hawa sebagai pasangan bagi adam
Memasangkan sang malam dengan sang siang
Saat mempersuntingkan api dengan air
Mengikuti setiap cahaya dengan bayangnya
Membertemukan embun puncak gunung dengan keelokan air samudra
Melengkapi setiap daun yang berguguran dengan seekor cacing yang setia

Yang terus memperdalam dahaga dari pandangan terhadap perapian itu. Yang lalu membakar ke dalam pikiran dan menuntunku tuk meninggalkan perapian ini dan menanggalkan jubah kegelapan yang slalu ku banggakan. Setapak demi setapak langkah ini menginjak duri-duri itu lagi, tapi kini aku berjalan ke arah yang baru, arah yang tak pernah ku tuju. Meniti perjalanan terjal melalui jurang asa demi menyentuh dinginnya air sungai embun yang tertatah pada himpitan kaki gunung yang menembus putih sucinya awan yang bergumul. Ku luruhkan setiap lelah yang ku pijak, ku hapuskan setiap perih amis yang ku cium, ku basuh setiap bara hati yang kau hidupi, dengan elok dan dinginnya embun ini

Friday, September 30, 2011

Rembulanku

Kenapa aku selalu melangkah ke barat?

Mengejar mentari yang selalu lari

Sedang di belakangku ada rembulan yang menjaga ketulusan



Dulu rembulan itu memaparkan cahayanya

Aku dapat rasakan indahnya

Tapi aku tak mengerti maknanya

Iapun kecewa dan pergi



Ku kira ia membuang semuanya

Tapi ternyata tidak



Ingin aku kembali

Memugar semua kesalahan

Dan menghapus kecewa yang pernah ada



Maaf…

Keheningan

Malam terus mengalir, bergerak dan beranjak tua.
Suasana semakin larut.
Mimpi-mimpi sudah berlayar, jauh meninggalkan muara senja.
Kubalikkan badanku di atas pembaringan, tak ada kantuk yang menghampiri.
Yang tersisa hanya sepi, dan aku berteman jasadku sendiri.
Aku tahu kau tampak lelah, setelah siang tadi berjejak-jejak di bawah terik,
memungut serpihan takdir yang terserak.
Pohon kehidupan tak selalu berbuah ranum. Daun-daun tak selamanya rindang.
Kenyataan hanyalah mimpi di atas takdir yang kelam.
Bukankah kemewahan hanya ilusi, ketika semuanya singgah di pelupuk mata, dan tangan kita terhalang pagar untuk memetiknya?
Sudahlah, tak perlu menggugat seperti itu. Kau harus meng-ikhlaskan seluruh
siang dan malammu, pada jalan yg sudah tertulis di buku catatan.
Bukankah sudah kau yakini tentang keabadian? Itulah kebun pembalasan, tempat memanen buah dari benih-benih yg kita tanam.

Maafkan, aku terpaksa menjajahmu. Aku terus menjejalimu dengan berbaris-baris
pertanyaan,yang membuat matamu tidak terkatup.
Semuanya berderet, seperti pohon-pohon di sepanjang perjalanan.
Tapi aku tak bermaksud menyakitimu.
Tentu kau masih ingat,ketika terik menyengat, lalu kuajak kau berteduh di bawah rimbun ranting-ranting perdu.
Dan saat gerimis yang meneteskan butir-butir tangis, kubawa kau menepi di
gubuk persinggahan,lalu kupeluk saat petir menggelegar.
Saat itu, rautmu begitu pucat dan ketakutan.

Hanya di hening malam, aku bisa memandang wajahmu, sambil mengenang
waktu yang telah hilang. Aku telah mengenalmu lebih dari seumur siang.
Setiap langkah adalah selembar kisah. Lalu musim merangkumnya dalam celah-celah ingatan. Semuanya masih kusimpan. Beberapa lembar telah hilang, mengering bersama ranting, saat kemarau terbit di halaman depan.

Waktu memang terlalu angkuh, bagi sebuah umur yang mulai rapuh.
Bayang-bayang perpisahan semakin nyata. Derap kematian berdetak bersama jejak dan tapak-tapak.
Adakah kau tahu,sedang melangkah kemana? Ikatkanlah arahmu pada
selembar sajadah, karena sesungguhnya waktu perlahan-lahan pudar dan begitu tersamar.

Hening
Hanya angin yang terdengar gemuruh
Seperti berlari jauh,tersungkur dan jatuh
Luruh
Senyap ditelan subuh

Sepenggal Catatan Perjalanan Ku

malam semakin menunjukkan taringnya, dengan tikaman dingin yang menyentuh pundak dan kedua kakiku, yang tanpa alas, melangkah menyusuri jalan setapak lembah. jalan yang sering kulalui, ketika rembulan berubah warna menjadi merah saga. netraku menatap liar di heningnya malam, menatap setiap sudut waktu yang berkelebat hitam dan pongah, di sela pepohonan yang entah telah berumur berapa puluh tahun. bayang-bayang yang berkelebat cepat dan hitam menyeruak di sela dedaunan, dan sekonyong-konyong telah berdiri di hadapanku.
“siapa kau ...” tanyaku di balik ketakutan dan ketidaktahuanku
“aku adalah hitammu, sebuah ilusi dari perjalanan panjang dan makar-makar yang telah melingkupi jiwa bebalmu” jawabnya enteng, sembari menyeringai, memperlihatkan deretan gigi putihnya yang mengkilat di kegelapan malam.
aku hanya dapat terhenyak dan menatapnya dengan segudang tanda tanya
“jangan tanyakan lagi siapa aku ?” ucapnya tiba-tiba seakan tahu apa yang melintas di kepalaku
“aku adalah dirimu” tandasnya lagi
aku hanya terdiam
“aku tahu semua yang melintas dikepalamu” kembali ucapannya membuatku terdiam dan diam.
tak ada lagi kata setelah itu, aku dan dia terdiam di heningnya malam, diantara desah dedaunan yang bersenandung dihempas dingin dan angin lembah yang bersiul lirih.

malam semakin mengelam, ketika tanpa kusadari, sosok itu tak ada lagi disisiku, aku tertinggal sendiri, di sebuah batu cadas, dimana rembulan saga dapat kupegang dengan tangan lusuh ini.
“fahamkan aku ...”ungkapku lirih pada rembulan saga yang menyunggingkan senyum tanpa makna
“kenapa diam saja ...” tanyaku
tak ada jawab
“fahamkan aku ... tolonglah ...” pintaku sekali lagi
tetap tak ada jawab, yang ada hanya sunggingan senyum itu, semakin lebar dan lebar
“perjalananku telah panjang, sangat panjang, pun seribu makna telah kutimang dalam dekapan waktuku” ucapku sembari melipat kedua kakiku dan duduk tanpa alas di atas batu cadas, pun sang bayu seakan ingin membunuhku dengan hembusan dinginnya.
“perjalananku telah panjang bulan, temaram senja hingga buncah gurat pagi mewarnaku di setiap waktu, namun kosong jua yang terangkum dalam setiap langkahku” ucapku lagi
“aku tak berarti ...”
“tidak berarti ...”
“bahkan untuk sebuah kematianku sekalipun”
“serta untuk sebuah penilaian telapak kakikupun, aku tak berarti”

tawa itu terdengar sontak membahana di antara dedaunan yang mengelilingiku, tawa sang rembulan saga
“baru sadar kawan ...?”
keningku berkerut
“tak perlu berkerut seperti itu” tandasnya
“kaupun tak mengenal siapa dirimu” ucapnya
“maksudmu” tanyaku
“ya ... kau tak mengenal dirimu, karena kaupun tak tahu, ada apa denganmu?, apa yang melintas dibenakmu?, mengapa melintas? dan kenapa itu terlintas?” bertubi tanya itu menyerangku.
aku hanya dapat terdiam lama di keheningan, karena kusadar, apa yang dikatakannya adalah sebuah kebenaran.
“aku tak tahu siapa diriku?” capku sendiri sembari mengangguk

pukul 02.46 wita

kususuri kembali jalan setapak yang tadi kulalui untuk kembali menuju tempat peristirahatanku, sambil memikirkan dengan keras, tanya-tanya rembulan saga atasku.
diamku dalam perjalananku, membuatku semakin jauh meninggalkan batu cadas dan pun tempat tujuanku
“aku sekarang ada dimana” tanyaku pada sebatang pohon pisang yang tegak dihadapanku
“jangan tanyakan aku ... karena sepanjang hidupku, aku hanya ada disini” jawabnya singkat
“dimana aku sekarang” tanyaku pada seekor kucing yang telah tertabrak dan mati, entah kapan.
tak ada jawab darinya
“tolong katakan padaku kawan, dimana aku” tanyaku kembali pada riak air sungai yang mengalir
“lihat aku kawan, sepanjang hidupku, inilah yang aku tahu, dari hulu ke hilir, atau sebaliknya, maafkan aku yang tak dapat membantumu” jawabnya kemudian.

perlahan, kuremas kepalaku yang kembali terserang sakit kepala, migrain.
“ahhhhhh ...” desahku
“lebih baik kurebahkan saja tubuh lusuh ini, diatas perahu itu, melepas penat dan biarlah aku hanyut bersamanya di riak air sungai ini” ujarku sembari merebahkan badanku di atas perahu, yang terlebih dahulu, telah kulepaskan tambatannya di dermaga.

terlarunglah aku ...
dalam ketidak tahuanku akan diriku

My Golden Pen..

Tertuang dalam lembaran putih, bait demi bait asa

pena emasku yang mencurahkanya

waktu terus bergulir, rangkaian aksara tetap terlena

dalam buaian pena emas dan lembaran bermakna



Estetika kerinduan dalam diam dan sunyi

pena emasku masih tetap menari

menggoreskan untaian-untaian asa tersirat

meski terbalut waktu yang tidak bersahabat



Hingga kini

pena emasku masih mengalirkan asa demi asa

sejuta liric tanpa irama dari setetes tinta yang jatuh

meski dalam kidung tanpa suara

pena emasku tetap setia dengan asa dan lembaran putihnya....

Kosong

ketika kau menghamba pada fantasi
lena pada raung angan-angan tentang kebahagiaan
tanpa susah payah meraihnya
mencari kesenangan
mendapat kesenangan
hidup dalam kesenangan
lalu terbunuh oleh kesenangan
tak sadar akan batas usia yang memaksa kita untuk bergerak dan terus bergerak
mencari yang berarti
mengartikan diri sendiri
memberikan banyak arti kepada banyak diri
sampai saat dimana diri tak lagi mampu bergerak
tinggalah arti yang berarti

tapi, jika disuapi dan terus disuapi
lebih malas dari seorang pemalas
berpangku tangan pada lain yang belum tentu abadi
menunggu kehidupan yang tak pernah mau ditunggu
tak pernah ada kehidupan di kehidupan seperti itu
hanya jasad tanpa ruh
kosong
hidupmu kosong
seperti bangkai berjalan
bangkai bernafas
bangkai sebelum benar-benar menjadi bangkai
busuk sebelum waktunya membusuk
karena kenyataan tak pernah dapat bagian
untuk sekedar mengingatkan
atau bahkan diperjuangkan
mimpi hanyalah sebatas mimpi
bukan sepatu berpegas
yang semakin kuat kita injak
semakin tinggi lompatannya
pun semakin jauh langkah kaki mencakup jarak

aku berbelas kasihan padamu
karena mungkin selama ini
kau berjalan dengan menaiki pundak ibu bapakmu
namun jika saatnya tiba mereka melepasmu berjalan sendiri
untuk sekedar berdiri sendiripun
kau tak akan pernah sanggup

Monday, September 26, 2011

For The Rest Of My Life..

I praise Allah for sending me you my love
You found me home and sail with me
And I`m here with you
Now let me let you know
You`ve opened my heart
I was always thinking that love was wrong
But everything was changed when you came along
OOOOO
And theres a couple words I want to say
For the rest of my life
I`ll be with you
I`ll stay by your side honest and true
Till the end of my time
I`ll be loving you. loving you
For the rest of my life
Thru days and night
I`ll thank Allah for open my eyes
Now and forever I I`ll be there for you
I know that deep in my heart
I feel so blessed when I think of you
And I ask Allah to bless all we do
You`re my wife and my friend and my strength
And I pray we`re together eternally
Now I find myself so strong
Everything changed when you came along
OOOO
And theres a couple word I want to say
For the rest of my life
I`ll be with you
I`ll stay by your side honest and true
Till the end of my time
I`ll be loving you. loving you
For the rest of my life
Thru days and night
I`ll thank Allah for open my eyes
Now and forever I I`ll be there for you
I know that deep in my heart now that you`re here
Infront of me I strongly feel love
And I have no doubt
And I`m singing loud that I`ll love you eternally
For the rest of my life
I`ll be with you
I`ll stay by your side honest and true
Till the end of my time
I`ll be loving you.loving you
For the rest of my life
Thru days and night
I`ll thank Allah for open my eyes
Now and forever I I`ll be there for you
I know that deep in my heart

"It used to be my passion, but now it's only merley a song"