Pages

Saturday, October 8, 2011

Sang Sepi

Ketika hari menanggalkan jubah lembayungnya dan mengenakan pakaian hitam kebesarannya aku melihat sepi merangkak menuju ranjangnya sambil membawa mahkota yang bertatahkan berlian surya ia berbaring di atas ranjang kehidupan yang begitu keras hingga lukai jantungnya. Ketika surya menyingkap tirai malam yang megah, semegah istana Sulaiman nampak sosok hangat senyuman mega yang berbaur bersama embun dan kabut pagi yang menyeruak, sang sepi pun terlihat beranjak dari ranjangnya dan mengenakan pakaian hitam yang terlihat berkilau tersibak cahaya aku mengikuti langkah dan seluruh helaan nafasnya dengan seksama lalu di persimpangan aku bertanya kepadanya, “wahai sepi, hendak ke mana kah engkau beranjak?” “Aku hendak pergi ke alun-alun kota,” jawabnya. “apa yang hendak eangkau lakukan di tengah riuhnya pusat kota?” “Aku hendak pulang ke rumah,” jawabnya. “bukankah tempatmu di sana, di antara himpitan jurang dan langit yang menjulanginya?” “Bukan, di sana tempat sang damai bukan tempat tinggalku. Aku hidup di tengah keramaian dan tumbuh di antara hiruk-pikuk dunia.” Lalu dia pun meneruskan langkahnya, sedangkan aku tertunduk memikirkan semua yang baru saja sang sepi sampaikan...

No comments:

Post a Comment